Tanda Seru! Tehyan
performens berkostum dengan tehyan, 25 menit, 2014

Daku berkisah tentang peristiwa tragedi perang pesisir Jawa terbesar, dimana kaum Tionghoa melakukan pemberontakan terhadap kebijakan Kolonial Belanda. Di tahun 1941-1949 telah terjadi perang kaum peranakan dengan pribumi untuk melawan Belanda, akibatnya orang-orang yang dianggap ektrimis oleh Belanda di eksekusi di depan gedung Fatahilah dan sebagian besar dibuang ke sungai yang kini dikenal sebagai Kali Angke. Dan di tempat saya memainkan tehyan - alat gesek tradisional Tiongkok itu adalah tempat dipenggalnya kepala para pemberontak khususnya kaum Tionghoa. Jadilah saya mencoba untuk mendoakan para Pejuang Kemerdekaan Bangsa ini dengan memainkan kembali tehyan di air mancur yang tragis itu.


Exclamation Mark! Tehyan
costumed performance with tehyan, 25 minutes, 2014

A relatively forgotten, and understudied war tragedy within the coastline of Java is the rebellion against Dutch Colonials executed by the Chinese ethnics. Within the fierce years of 1941-1949, there was a massive coalition between the Peranakan (a term commonly used to describe inter-marriage offspring) with the Pribumi (the indigenous). The united front was considered extremists by the Dutch that resulted in mass execution; in which many of the bodies were simply deserted into a river commonly known today as Angke River. The exact spot where this performance was presented was arguably one of the sites where the barbaric beheading were carried out. The performer played tehyan- a traditional Chinese instrument creating melodious sound yet its screeching were deafening. The victims were mostly warriors of Chinese descent, hence an ode was delivered in the tragic fountain- bloodied once again but with music for the undermentioned bravery.


video documentation by Kelvin Atmadibrata.